Kamis, 19 Desember 2013

RESENSI FILM : 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA (MENELUSURI JEJAK KEBESARAN ISLAM DIEROPA?

       Sudah Banyak film Indonesia bernafaskan islam yang diadapatasi dari novel-novel laris. Namun, ada yang berbeda ketika kita menonton 99 Cahaya di Langit Eropa. Film ini tak hanya naratif tapi juga sangat deskriptif. Kisah dan settingnya sangat menyatu, membawa kita benar-benar merasa ikut ke Eropa untuk menyaksikan jejak peradaban islam disana. Makna dari film ini juga sangat dalam, lebih mengedepankan toleransi antar umat beragama dan menyikapi dengan bijak situasi dan kondisi Eropa yang merupakan benua dengan mayoritas non muslim. Susahnya mencari pekerjaan dan perlakuan “berbeda” hanya karena menggunakan jilbab, batasan halal pada makanan dan minuman yang dikonsumsi kaum muslim, sampai perbedaan waktu yang berbeda ketika shaum , sudah menjadi dilema yang harus dihadapi kaum muslim di Eropa.

      Dilema tersebut dialami oleh suami istri, Hanum dan Rangga. Rangga yang mendapat Beasiswa S3, mengajak serta istrinya ke Wina, Austria, sebuah negara di Eropa tengah yang terkenal makmur dan indah. Awalnya Hanum sangat menikmati tempat barunya itu, tapi setelah 3 bulan, Hanum yang terbiasa bekerja sebagai wartawan mulai diserang rasa bosan. Hingga akhirnya dia bertemu dengan Fatma Pasha, seorang gadis keturunan Turki yang merupakan keturunan dari Kara Mustafa Pasha salah satu pemimpin Turki yang menyerang Austria beberapa ratus tahun silam. Fatma juga memiliki seorang anak bernama Aysa yang mendapat perlakuan berbeda di sekolahnya hanya karena dia setia pada hijabnya.

     Perkenalan Hanum dengan Fatma dan Aysa rupanya membawa perubahan besar pada Hanum. Hanum belajar untuk mengedepankan rasa toleransinya, belajar untuk berjiwa besar dan menyikapi dengan bijak, juga belajar untuk menemukan kembali nilai-nilai keislaman di Eropa. Bersama Fatma, Aysa dan teman barunya,  Hanum mengukuhkan diri menjadi agen muslim yang akan selalu menyebarkan nilai-nilai murni islam yang penuh perdamaian. Dilema yang sama juga terjadi pada Rangga, suami Hanum. Tempat shalat yang menjadi satu dengan agama lain, waktu ujian yang berbarengan dengan shalat Jumat, serta perdebatan gaya hidup antara teman kuliahnya, Stefanus, Khan dan Marjaan. Rangga sendiri slalu mencoba menjadi penengah antara Stefanus penganut sekularisme dan Khan yang sepertinya menganut islam yang sedikit radikal.

     Perjalanan Hanum dan Rangga, berlanjut di paris. Di kota mode ini, mereka bertemu Marion. Seorang perempuan keturunan Perancis yang memeluk Agama Islam. Marion kembali membawa Hanum menyusuri jejak kejayaan islam di Paris. Banyak hal menarik disini yang baru kita ketahui. Selain guratan kalimat tauhid pada lukisan Bunda Maria, ada juga fakta sejarah arah garis lurus antara Arc De Triomphe (Gerbang Kemenangan yang dibuat Napoleon Bonaparte) dengan Baitullah di Mekah. Sepertinya gerbang kemenangan memang sudah dipersiapkan Napoleon untuk islam.

     Rangga dan Hanum mengunjungi dan menikmati senja di menara Eiffel, fakta-fakta peninggalan besar islam di Eropa membuat mereka akhirnya tahu, betapa Eropa berhutang besar pada peradaban islam. Ranggapun mengumandangkan adzan di atas menara Eiffel. Adegan ini bisa membuat anda begitu terhanyut. Pemandangan senja Eropa yang menakjubkan, jejak kebesaran islam serta adzan merdu yang dikumandangkan Rangga merupakan suatu harmoni yang manis hingga mampu membuat hati kita tergetar.

     Setelah beberapa minggu di Paris, Hanum dan Rangga kembali ke Wina. Namun mereka kehilangan jejak Fatma dan Aysa. Mereka pun baru mengetahui bahwa Aysa mengidap penyakit kronis setelah membuka titipan Marion. Berbagai cara ditempuh Hanum dan Rangga, tapi mereka tetap tidak menemukan Fatma dan Aysa.

Lantas, kemanakah Fatma dan Aysa ?

Bagaimana kisah rangga dan Hanum ?

Ceritanya akan dilanjut pada 99 cahaya di langit Eropa bagian 2.

     Cerita pada bagian satu, terasa agak datar sebenarnya. Konflik baru muncul pada akhir cerita dan sepertinya akan muncul dibagian dua. Tapi secara keseluruhan, film ini mampu menceritakan maksud dan maknanya. Akting menawan dari Acha Septriasa, Abimana dan Raline Shah sebagai tokoh sentral juga cukup memberikan karakter kuat pada peran mereka.

    Usai menonton film ini, saya mulai berpikir betapa beruntungnya kita yang lahir sebagai muslim yang juga dibesarkan di negara muslim. Kita tidak akan menemui banyak hambatan untuk beribadah. Rasanya kita hanya perlu belajar toleransi dan rendah hati seperti yang dipelajari Hanum dari Fatma, mengingat kita juga hidup di negara plural.

Tak sabar rasanya menunggu bagian kedua dari film ini.

Bagi anda yang belum menyaksikan, anda tak akan pulang dengan tangan kosong sehabis menonton ini. Banyak literatur sejarah yang dapat memperkaya khasanah kita.

Jadi, selamat Menyaksikan

Tidak ada komentar: